Sejarah Harokat pada Al-Qur'an

SEJARAH HAROKAT AL-QUR'AN


Sejarah tanda bacanyasebagaimana di zaman Rasulullah SAW, yaitu harakat fathah (baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah (baris depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma (tanda baca), huruf ta, tsa, ba, nun, syin, sin, shad, tho', dan sebagainya pada waktu itu tidak ada, adanya tanda baca yang sebagaimana yang ada dalam AL-QUR’AN itu karena adanya peran dari sahabat Rasul, tabin, dan tabiit tabiin yang maksudnya yaitu agar mempermudah orang-orang yang tidak mengetahui terjemahnnya.
            Pemberian tanda baca (syakal) berupa titik dan harakat(baris) baru mulai dilakukan ketika Dinasti Umayyah yang memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan Islam atau setelah 40 tahun umat Islam membaca Alquran tanpa ada syakal. Pemberian titik dan baris pada mushaf Al-Qur'an ini dilakukan dalam tiga fase yaitu:
1.     pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Beliau menugaskan Abdul Aswad Ad-dawly untuk meletakkan tanda baca (i'rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
2.     Pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf ba' dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hay bin Ya'mar. Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah semakin luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan Al-Qur'an bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah untuk menuliskan Al-Qur'an dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya keseragaman bacaan Al-Qur'an baik bagi umat Islam yang keturunan Arab ataupun non-Arab ('ajami).
3.     Baru kemudian, pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca Al-Qur'an. Pemberian tanda baris mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada. Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad. Sebagaimana mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida(memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri atasnama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah 'ain. Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Al-Qur'an adalah tajzi', yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan yang lainnya, berupa kata'juz' dan diikuti dengan penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri. 

Dengan adanya tanda-tanda tersebut mempermudah mereka untuk membaca Alquran. Karena berkat peran tokoh-tokoh di atas yang mempunyai tujuan agar menjadi lebih baik, terutama dalam membaca Al-Qur'an.
            Dalam Alquran surah Al-Hijr (15) ayat 9, Allah berfirman, ''Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an dan Kami pula yang menjaganya.'' 
Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al-Qur'an selama-lamanya hingga akhir zaman dari pemalsuan.
Karena itu, banyak umat Islam, termasuk di zaman Rasulullah SAW, yang hafal Alquran. Dengan adanya umat yang hafal Al-Qur'an, Alquran pun akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman. Selanjutnya, demi memudahkan umat membaca Al-Qur'an dengan baik, mushaf Al-Qur'an pun dicetak sebanyak-banyaknya setelah melalui tashih (pengesahan dari ulama-ulama yang hafal Al-Qur'an).Alquran pertama kali dicetak pada tahun 1530 Masehi atau sekitar abad ke-10 H diBundukiyah (Vinece).
Pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf setidaknya memiliki tiga fase, yaitu penulisan Al-Quran yaitu:
Pengumpulan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah SAW dilakuakan dengan dua cara yaitu:

- MENGHAFALKANNYA Para sahabat langsung menghafalnya setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat terkenal daya hafalannya

- MENCATAT Setiap turun wahyu kepada Nabi, beliau selalu membacakannya kepada para sahabat dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al-Qur’an. Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Abdullah bin Mas'ud, Salim, Mu'adz bin Jabal dan Ubay bin Ka'ab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin

PENGUMPULAN AL-QURAN PADA MASA PEMERINTAHAN ABU BAKAR

 
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah.

PENGUMPULAN AL-QURAN PADA MASA PEMERINTAHAN UTSMAN BIN AFFAN

keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. 
Standar tersebut, kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. 
Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah.
 

Komentar

Postingan Populer